Putra Kelana Dunia Maya

Foto saya
Kapala Madan, Buru Selatan, Indonesia
Tak kenal Maka Tak Sayang Mari Membangun Potensi Yang Tertanam dalam diri kembangkan Menjadi bentuk Kreaktifitas,

Selasa, 10 November 2009

Pulau Buru ‘Tempat Pembuangan’



Pulau Buru selalu diasosiasikan dengan kekerasan politik. Di situlah pada 1969, 12 ribu orang tahanan politik (tapol) disekap. Tak banyak yang tahu, pulau itu sebenarnya cantik dan menyimpan pesona wisata sangat indah. Ke sanalah, saya pada 17 Agustus 2007 silam menyaksikan pesonanya, bersama beberapa teman.
Kami mencarter persawat Nomad dari Ambon. Pesawat kecil berpenumpang 10 orang itu hanya butuh waktu terbang 25 menit untuk mencapai lapangan terbang Namlea. Pada hari biasa, pesawat terbang perintis melayani rute Namlea-Ambon seminggu sekali dengan Pesawat Merpati.
Perjalanan laut tetap menjadi andalan. Ada kapal cepat yang melayari Ambon-Namlea-Ambon. Dibutuhkan waktu tiga jam untuk mencapai tujuan. Ada juga kapal layar kayu yang biasanya butuh waktu delapan jam untuk mencapai tujuan. Dalam kondisi cuaca yang kurang baik seperti sekarang, memakai kapal layar cukup mengundang risiko.
Kami mendarat di lapangan terbang Namlea yang mungil. Tidak ada satu pesawat pun yang terlihat parkir. Saya, Janet Steele (dosen George Washington University), pengusaha muda Surabaya, Iman Sulaiman, dan Djalil Latuconsina memasuki ‘terminal’ kedatangan. Hanya ada seorang penjaga berbakaian seragam Angkatan Udara RI. Dia memeriksa paspor Janet. Setelah Djalil memberi penjelasan, prajurit itu membiarkan kami pergi.
Hari menjelang siang, kami meluncur menuju pusat kota. Kira-kira 20 menit perjalanan ke pusat kota kami tidak berpapasan dengan satu mobil pun. Satu dua pengendara sepeda motor kami lewati atau simpangi. Kami langsung menuju Hotel Grand Sarah. Hotel setingkat melati itu pun yang terbaik di Namlea. Cukup bersih dan nyaman.
Di jalan utama di depan kantor bupati, suasana sudah sangat ramai-ramai. Anak-anak, remaja, dan ibu-ibu sudah bersiap mengikuti pawai. Kami bertemu dengan Bupati Husnie Hentihu berbicara mengenai banyak hal.
Janet yang mengaku ’tidak bisa hidup’ tanpa internet, langsung mencari tahu mengenai kemungkinan ada sambungan internet di Pulau Buru. Janet terkejut ketika seorang wanita pegawai pemerintah kabupaten menjawab bahwa ada sambungan internet di Namlea. ‘’Ini luar biasa. Tempat seperti Namlea di Pulau Buru mempunyai sambungan internet,’’ seru Janet, surprise.
Benteng Belanda di Pantai Kayeli
Perjalanan dari Pantai Namlea (ibukota kabupaten Buru) menyeberangi Teluk Kayeli dengan perahu motor sebenarnya hanya membutuhkan waktu 20 menit. Tetapi, saya merasa perjalanan itu sangat lama karena perasaan tegang.

Seperti perahu kertas, perahu cepat itu bergoyang-goyang dan meloncat-loncat menghindari terpaan air. Setiap beberapa detik perahu itu terbanting ke air dengan keras seperti menerpa benda keras dan menimbulkan suara menggebrak. Saya duduk tepat di belakang nakhoda yang terus-menerus mengeluarkan kepala dari jendela kaca.
Saya berpegangan erat ke punggung kursi di depan saya. Steele, berusaha terlihat tenang, meski wajahnya terlihat tegang. Iman Sulaiman, menghilangkan kekalutan dengan memotret.
Djalil Latuconsina, putra daerah Pulau Buru yang sudah menetap di Surabaya, tertawa melihat ekspresi kami semua. “Kalian semua terlihat pucat,” teriakannya menembus keriuhan debur ombak. Ia tertawa terkekeh-kekeh. Puas!
Perahu merapat ke pantai. Inilah Desa Kayeli. Di sinilah Belanda pada tahun 1718 mendarat dan mendirikan benteng. Sisa-sisa benteng masih terlihat, tetapi rapuh dan tidak terawat. Prasasti di pintu masuk masih terbaca cukup jelas.
Kayeli adalah satu di antara delapan wilayah pertuanan yang dulu dipimpin oleh raja (semacam kepala suku). Ketika datang bangsa Eropa, Pulau Buru kemudian dikuasai dan raja-raja harus patuh kepada Belanda. Raja besar terakhir Pulau Buru adalah Ishak Wael, meninggal 1970. Ia diangkat dan menerima besleit dari Belanda.
Setelah Ishak Wael meninggal, tidak ada lagi raja di Pulau Buru. Pada 1995, anak Ishak Wael bernama Mansur Wael diangkat oleh suku-suku adat untuk menjadi raja. Tetapi, kekuasaan Mansur tidak sebesar bapaknya, dan ia hanya sekadar simbol saja.
Luas wilayah Kayeli sekitar 12.000 meter persegi, kira-kira hampir sama dengan Pulau Bali. Cuaca di wilayah itu rata-rata 30 sampai 33 derajat Celcius. Angin selalu bertiup sejuk dan kelembapan rendah sehingga udara terasa nyaman.
Saksi Sejarah yang Musnah
Tempat bekas tahanan politik di Pulau Buru terletak di Kecamatan Waeapo, kira-kira 30 kilometer dari ibukota Namlea. Dulu, wilayah itu hanya bisa dijangkau melalui sungai, tetapi sekarang ada jalan hot mix yang mulus dan berkelok-kelok indah.

Di sepanjang jalan, di kiri dan kanan, bertumbuhan pohon minyak kayu putih yang lebih mirip bakau. Tanaman ini tumbuh liar, tetapi menjadi komoditi sangat menguntungkan. Tanpa ditanam, kayu putih tumbuh sendiri. Bahkan setelah dibakar pun tanaman ini tumbuh lebih lebat. Masyarakat tinggal memetik daunnya dan menyulingnya menjadi minyak. Kualitasnya terbaik di dunia.
Masuk ke Waeapo kita disambut Desa Savanah Jaya. Ini merupakan satu di antara 20 unit penampungan tapol. Seluruh unit Inrehab (sebutan untuk kamp penyekapan) dibangun pada 1969. Tapi Savanah baru dibangun tahun 1974 ketika pemerintah mengirim istri para tawanan ke pulau itu.
Para tawanan yang beristri itu kemudian dibangunkan pemukiman tersendiri di Savanah. Bentuknya bukan barak tapi rumah-rumah petak. Sampai sekarang rumah petak itu masih banyak yang tersisa di sana. Beberapa masih ditempati. Beberapa sudah rusak.
Gedung kesenian di desa Savanah Jaya merupakan gedung peninggalan sejak masa penyekapan. Itu satu-satunya bangunan yang tersisa. Kami menyusuri jalanan yang mulus berkilometer. Di sepanjang jalan sawah menghampar. Itulah sawah yang dibikin melalui kerja paksa oleh 12 ribu tawanan politik. Sekarang, sawah-sawah itu diwariskan kepada para transmigran dari Jawa.
Kami mencari-cari barak-barak yang dulu ditempati sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Sayang, tidak ada satu pun yang tersisa. Jejaknya pun tak terasa. Semuanya sudah dirobohkan dan diganti dengan perumahan penduduk

tentang indo marxis dan pemuda sosialisme

Salam Sosialisme,
Situs/homepage ini kami bangun untuk mengisi kekosongan literatur-literatur Marxisme berbahasa Indonesia.   Sebagaimana kita ketahui bersama, sejak kemenangan kaum kontra-revolusi pada 1965, ide-ide kiri serta gerakan kaum kiri dibasmi secara sistematis dan kontinue, baik secara legal maupun tidak. Tindakan barbar ini dilakukan dan didukung penuh oleh kaum imperialis besar semacam Amerika Serikat, Inggris, dsbnya. Pembasmian (holokaus) manusia menjadi syah demi masuknya modal. HAM punya makna hanya sejauh mengabdi untuk  kepentingan penumpukan modal. Inilah demokrasi demokrasi ala borjuasi.
Keresahan rakyat akibat penindasan rejim kapitalis Orde Baru berbuah penggulingan rejim Suharto. Namun ini bukanlah perubahan yang mendasar alias yang terjadi adalah reformasi (perubahan tambal-sulam) belaka. Rejim kapitalis dengan wajah lain masih terus bercokol. Untuk memoderasi perlawanan, mereka memberi kue-kue konsesi. Rakyat disuap dengan "kebebasan" berbicara dan berkumpul. Tentu saja dalam batas-batas kepentingannya. Oleh karena itu adalah hal yang wajar bagi klas ini untuk menembaki kaum buruh yang mengadakan pemogokan karena akan merugikan investasi/penumpukan/perputaran modal. Adalah syah untuk memukuli para mahasiswa yang menuntut pengadilan rakyat bagi para koruptor dan kapitalis kroni karena akan menimbulkan instabilitas. Adalah syah untuk memukuli dan menembaki kaum tani yang merebut kembali tanah miliknya. Semuanya adalah syah demi kelanggengan sistem kapitalisme.
Secara nyata di depan mata kita terpampang kenyataan, kapitalisme bukanlah penyelesaian. Kapitalisme adalah masalah. Kapitalismelah yang menyebabkan pengggusuran-penggusuran untuk pendirian pabrik dan gedung-gedung pemerasan kaum buruh. Kapitalismelah yang menyebabkan pengangguran di Indonesia yang sudah mencapai 20-an juta lebih, walaupun pada saat yang sama beratus-ratus juta hingga milyaran rupiah surplus value yang dihisap dari kaum buruh masuk ke kantong tuan-tuan kapitalis. Kapitalismelah yang memarakkan orang-orang yang terpinggirkan menjadi maling, begundal, perampok, sampai pelacur-pelacur muda, dan menyebabkan kerusakan lingkungan. Kapitalisme pulalah yang melanggengkan militerisme untuk menindas perlawanan kaum proletar dan kaum tertindas lainnya.
Kapitalisme penuh kebobrokan. Dia harus diganti dengan sebuah tatanan masyarakat baru. Sistem Sosialisme. Karena itu tugas kaum sosialis adalah secara terus-menerus beragitasi tentang keboborokan kapitalisme ini dan mempropagandakan program-program sosialis. Kaum sosialis tidak boleh terjebak pada ilusi perjuangan yang semata-mata dengan semangat legalisme (berlandaskan aturan-aturan legal) belaka. Kita harus berjuang dengan menyesuaikan taktik-taktik dan strategi sesuai dengan kondisi obyektif yang ada. 
Untuk memandu perjuangan ini perlu bersandar pada landasan perjuangan yang sejati yaitu Sosialisme Ilmiah, yang dirumuskan secara brilyan oleh Karl Marx dan Frederick Engels dan diperkaya oleh Vladimir Ilyich Lenin serta kaum revolusioner lainnya.
Pembangunan situs ini hanya satu sumbangan kecil kami (Pemuda Sosialis) dalam perjuangan yang maha berat tersebut. Ini menjadi penting karena sebagaimana kata V.I. Lenin:
"Tanpa Teori Revolusioner, Tidak Akan Ada Gerakan Revolusioner"
Kami juga berharap dengan pembangunan situs ini, kaum sosialis bisa secara terus-menerus berpijak pada semangat ilmiahnya, sehingga menemukan formula strategi dan taktik yang tepat dalam perjuangan. Dan tidak kalah penting menghindarkan kotoran-kotoran semacam birokratisme, dogmatisme, ultra-kiriisme, stalinisme, dll, dari tubuh kaum sosialis. 


Tetap Bergerak Untuk Kemenangan Kaum Proletariat !
Hancurkan Kapitalisme, Imperialisme dan Neo-Liberalisme, Bangun Sosialisme !
Comradely,
PEMUDA SOSIALIS
Sekilas Tentang Kami:
1        Pemuda Sosialis adalah satu grup sosialis yang diilhami ajaran sosialisme ilmiah yang dirumuskan Karl Marx dan Frederick Engels serta diperkaya V.I. Lenin dan kaum revolusioner lainnya.
2        Kami percaya hanya sosialismelah solusi terbaik untuk mengatasi problem-problem masyarakat Indonesia dan dunia yang sudah sangat bobrok ini.
3        Kami percaya bahwa sosialisme hanya bisa terwujud dengan penggulingan kapitalisme melalui perjuangan yang massif dari kaum proletariat dan kaum tertindas lainnya. Karena itu gerakan sosialis di Indonesia serta seluruh dunia harus diperkuat serta berpegangan tangan untuk berjuang bersama.
4        Kami sadar dan yakin bahwa sosialisme itu tidak akan terwujud tanpa demokrasi. Hanya dengan sosialisme yang ilmiah dan demokratik (bukan dalam makna sosdem--kanan)-lah masyarakat "baru" itu bisa terwujud. Sejarah keruntuhan rejim stalinis yang birokratik di berbagai negara sudah membuktikan hal tersebut.
5        Kami tidak mempunyai kaitan historis serta tidak mewakili semangat oportunisme yang berlabel "sosialis" dengan organisasi semacam PSI (Partai Sosialis Indonesia), ataupun dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). 
6        Kami menyerukan kepada seluruh kekuatan demokratik untuk terus konsisten berjuang dan menggalang kekuatan melawan kapitalisme dalam berbagai bentuknya.

Minggu, 08 November 2009

Download EBook

Catatan Mas Pramudya ( Aktifis Yang Dibuang Di Pulau Buru )

Pramudya Ananta Toer di New York. Bagaimana kita pernah membayangkan ini? Di tengah Park Avenue tulip bermunculan kembali-tiap tahun seperti tak disangka-sangka-dengan rapi, seakan kembang plastik. Ini akhir April. Di dalam Gedung Asia Society di tepi avenue itu, di auditoriumnya yang penuh sesak, orang memandang ke pentas: Pramudya Ananta Toer di New York. Sesuatu yang lebih tak terduga. Orang sadar bahwa di panggung yang tertata itu, ada sesuatu yang datang dari sebuah pengalaman yang suram.
Pram mengenakan jas Nehru abu-abu, rambutnya yang memutih dan gondrong tersibak ke belakang. Dalam umurnya yang lebih dari 70 tahun, ia tampak kuat, langsing, tegak. Suaranya besar dan mantap, dengan getar di sana-sini. John MacGlynn, penerjemahnya, duduk di dekatnya, dekat sekali ke telinga Pramudya yang pekak, untuk setiap kali menyalin percakapan ke dalam bahasa Inggris atau sebaliknya. Di sebelah kiri Pramudya, Mary Zurbuchen, mengajukan beberapa pertanyaan dalam sebuah interview yang menarik, sebelum Pramudya menghadapi hadirin.
Pernahkah kita membayangkan ini? Mungkin kita akan mengatakan, sejarah memang sebuah proses dari keadaan terbelenggu ke arah keadaan merdeka-dan riwayat hidup Pramudya Ananta Toer melukiskan itu. Di zaman perang kemerdekaan ia ditangkap dan dipenjarakan Belanda, karena ia anggota dari pasukan Republik. Di zaman "Demokrasi Terpimpin" Soekarno ia dipenjarakan tentara, karena bukunya Hoakiau di Indonesia. Di zaman "Orde Baru" ia dipenjarakan, dibuang ke Pulau Buru, dan kemudian dikembalikan ke Jakarta tetapi tetap tak bebas, selama hampir 20 tahun. Dan kini, tahun 1999, ia mendapatkan paspornya, ia seorang yang merdeka kembali, dan ia berangkat ke Amerika Serikat, sebuah negeri yang tak pernah dikunjunginya-dan ia disambut.
Tetapi benarkah sejarah punya narasi selurus itu? Di Pulau Buru, tempat ia diasingkan selama 13 tahun beserta 12.000 tahanan politik lainnya, sebuah gulag yang dikurung oleh laut, sebuah kamp yang dikitari savana dan diselang-selingi rawa, barangkali yang bertahan hanya ide bahwa kelak manusia akan bebas. Terutama jika orang mempercayai Hegel dan Marx-seperti mempercayai eskatologi bahwa surga akan datang kelak di kemudian hari karena itulah janji Tuhan. Tetapi jika kita baca catatan-catatan Pramudya yang kemudian dihimpun di bawah judul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, yang di Amerika tahun ini diterbitkan sebagai The Mute's Soliloquy, barangkali yang tebersit di sana bukanlah eskatologi itu, bukan Hegel bukan pula Marx, melainkan sebuah "pesimisme pemikiran, optimisme kehendak".
Kalimat ini datang juga dari keadaan terpenjara: yang menuliskannya seorang Marxis yang orisinil, Antonio Gramsci, dari selnya di Italia di tahun 1930-an. Mungkin itu pulalah yang juga terjadi di Buru. Pram menuliskan catatannya dan kemudian menyembunyikannya, tanpa harapan bahwa semua itu akan dibaca. Tetapi, seperti dikatakannya kepada Mary Zurbuchen, ia ingin agar ada kesaksian bagi anak-anaknya-yang terpisah dari dirinya selama bertahun-tahun itu-bahwa "mereka pernah punya seorang ayah".
Ancaman dari waktu adalah ketidaktahuan yang berlanjut atau lupa yang kemudian terjadi. Mengetahui, dalam melawan ancaman waktu-itulah hal yang penting bagi Pram. Ia tak tahu apakah ia akan menang. Akalnya mengatakan kemenangan baginya mustahil. Tetapi ia tak hendak menyerah. Ia menulis sederet novel sejarah.
George Orwell pernah mengatakan bahwa bentuk novel adalah yang "paling anarkis" dalam kesusastraan. Orwell benar, sepanjang sifat "anarkis" itu diartikan penampikan novel kepada segala yang ortodoks dan mengekang. Tetapi pada sisi lain, novel-seperti yang ditulis oleh Orwell dan Pramudya, terutama novel sejarah itu-mempunyai dorongan yang dekat dengan kehendak "mengetahui". Dan "mengetahui" bukanlah sesuatu yang bisa terjadi dengan anarki; mengetahui adalah proses yang tertib.
Dalam novel, sejarah memperoleh alur, mendapatkan bentuk. Mungkin bukan sebuah alur Hegelian (bahwa sejarah akan berakhir dengan kemerdekaan), tetapi bagaimanapun bukan sesuatu yang acak-acakan. Haruskah dengan pandangan demikian ini pula kita melihat cerita hidup Pramudya sendiri: dari sebuah pulau buangan yang jauh di Maluku, sampai dengan ke Amerika Serikat, sebuah negeri yang-seperti diakuinya malam itu-punya kontribusi besar, berkat Presiden Carter, dalam pembebasannya dari Pulau Buru?
Salah satu yang sering mengagetkan dalam sejarah ialah bahwa ia ternyata bisa mengagetkan. Banyak hal berlangsung bukan semata-mata karena progresi yang seperti hukum itu, bukan karena perkembangan sebuah struktur sosial, bukan pula takdir, melainkan karena tindak manusia. Dari saat Pramudya ditahan sampai dengan saat Pramudya di New York telah berlangsung sebuah periode yang begitu mencengkeram: Perang Dingin. Perang Dingin, yang membagi dunia menjadi dua sejak akhir 1940-an, antara "komunis" dan antikomunis"-seakan-akan itu sebuah pembagian yang kekal-tak disangka-sangka berakhir ketika Mikhail Gorbachev mengambil keputusan yang semula tak terbayangkan di tahun 1989: Uni Soviet harus berubah, dan Tembok Berlin diruntuhkan.
Smiley, tokoh utama John Le Carre yang muncul kembali dalam The Secret Pilgrim, mengatakan itu dengan secercah rasa kagum: "Manusialah yang mengakhiri Perang Dingin itu, kalau kau belum mengetahuinya. Bukan persenjataan, atau teknologi, atau tentara atau serangan. Manusia, itu saja. Dan bahkan bukan manusia Barat... melainkan musuh bebuyutan kita di Timur, yang turun ke jalan, menentang peluru dan tongkat polisi dan berkata: Sudah cukup. Kaisar merekalah, bukan kaisar kita, yang berani naik ke panggung dan mengatakan bahwa ia tak berpakaian."
Kaisar yang berani, rakyat yang bertindak.... Manusia belum mati-mungkin itulah yang akhirnya harus dikatakan, sebuah kabar gembira untuk Pramudya, tentang Pramudya. Setidaknya ketika musim dingin ketidakbahagiaan kita berakhir, dan tulip dan magnolia muncul, setidaknya sampai musim gugur tiba ke

Sabtu, 07 November 2009

ALAM & MANUSIA

Aku mendengar anak sungai merintih bagai seorang janda yang menangis meratapi kematian anaknya dan aku kemudian bertanya, "Mengapa engkau menangis, sungaiku yang jernih?' Dan sungai itu menjawab, 'Sebab aku dipaksa mengalir ke kota tempat Manusia merendahkan dan mensia-siakan diriku dan menjadikanku minuman-minuman keras dan mereka memperalatkanku bagai pembersih sampah, meracuni kemurnianku dan merubah sifat-sifatku yang baik menjadi sifat-sifat buruk." 
Dan aku mendengar burung-burung menangis, dan aku bertanya, "Mengapa engkau menangis, burung-burungku yang cantik?" 
Dan salah satu dari burung itu terbang mendekatiku, dan hinggap di hujung sebuah cabang pohon dan berkata, "Anak-anak Adam akan segera datang di ladang ini dengan membawa senjata-senjata pembunuh dan menyerang kami seolah-olah kami adalah musuhnya. Kami sekarang terpisah di antara satu sama yang lain, sebab kami tidak tahu siapa di antara kami yang bisa selamat dari kejahatan Manusia. Ajal memburu kami ke mana pun kami pergi."

Kini, matahari terbit dari balik puncak pergunungan, dan menyinari puncak-puncak pepohonan dengan rona mahkota. Kupandangi keindahan ini dan aku bertanya kepada diriku sendiri, 'Mengapa Manusia mesti menghancurkan segala karya yang telah diciptakan oleh alam

INDAHNYA KEMATIAN


Biarkan aku terbaring dalam lelapku, karena jiwa ini telah dirasuki cinta, dan biarkan aku istirahat, karena batin ini memiliki segala kekayaan malam dan siang.
Nyalakan lilin-lilin dan bakarlah dupa nan mewangi di sekeliling ranjang ini, dan taburi tubuh ini dengan wangian melati serta mawar.
Minyakilah rambut ini dengan puspa dupa dan olesi kaki-kaki ini dengan wangian, dan bacalah isyarat kematian yang telah tertulis jelas di dahi ini.
Biarku istirahat di ranjang ini, karena kedua bola mata ini telah teramat lelahnya;
Biar sajak-sajak bersalut perak bergetaran dan menyejukkan jiwaku;
Terbangkan dawai-dawai harpa dan singkapkan tabir lara hatiku.

Nyanyikanlah masa-masa lalu seperti engkau memandang fajar harapan dalam mataku, karena makna ghaibnya begitu lembut bagai ranjang kapas tempat hatiku berbaring.
Hapuslah air matamu, saudaraku, dan tegakkanlah kepalamu seperti bunga-bunga menyemai jari-jemarinya menyambut mahkota fajar  pagi.
Lihatlah Kematian berdiri bagai kolom-kolom  cahaya antara ranjangku dengan jarak keabadian;
Tahanlah nafasmu dan dengarkan kibaran kepak sayap-sayapnya.
Dekatilah aku, dan ucapkanlah selamat tinggal buatku. Ciumlah mataku dengan seulas senyummu.
Biarkan anak-anak merentang tangan-tangan mungilnya buatku dengan kelembutan jemari merah jambu mereka;
Biarkanlah Masa meletakkan tangan lembutnya di dahiku dan memberkatiku;
Biarkanlah perawan-perawan mendekati dan melihat bayangan Tuhan dalam mataku, dan mendengar Gema Iradat-Nya berlarian dengan nafasku
....

Photo


Album Wisata




Rabu, 04 November 2009



Vote

Halaman

Teman